what time is it?

What time is it?

Kamis, 17 Maret 2011

KUMPULAN CERPEN

SEJUTA RINAI HUJAN
Pengarang : Anindhiya

Sivia sangat suka melihat pelangi bias ketujuh yang indah, serta kilauannya yang menawan, mampu membuatnya betah duduk berlama – lama hanya untuk melihat pelangi.Seperti saat ini, di tempat favoritnya bukit kecil di belakang komplek Sivia duduk sendiri menikmati keindahan pelangi dengan di temani bau rumput yang khas selepas hujan tadi siang.
Baru beberapa menit berlalu, rasa dingin dari angin sore yang berhembus, mengganggu keterangannya bersama pelangi. Dan sialnya, karena terburu – buru pergi kemari, Sivia lupa untuk membawa jaket. Sivia terus mengusap – usap kedua tangannya, berharap ada rasa hangat yang dapat tercipta.

Alvin : “ Kedinginan ya? bawa jaket makanya . . .” ( Sivia mengangkat wajahnya sebuah jaket telah dipakaikan dibadannya )
Sivia : “ Kakak? kok ke sini? “ ( Sivia tersenyum sambil membetulkan letak jaketnya )
Alvin : “ Kan mau nemenin kamu, Vi. Nggak boleh nih? “ ( Alvin mengacak – acak poni Sivia dengan lembut sambil tersenyum )
Sivia : “ Bukan gitu, memang kakak udah sehat? “
Alvin : “ Selalu sehat kalau buat nemenin kamu. “
Sivia : “ Huuu . . . “
Alvin : “ Kan kamu obat yang paling manjur buat aku. “

Terbiasa mendengar kata – kata seperti itu, Sivia hanya tersenyum kecil. Mereka berdua terdiam menikmati indahnya pelangi yang mulai memudar.
Alvin : “ Aku minta maaf ya, kemarin lusa kita nggak jadi ja . . . “ ( kata Alvin memecah keheningan dan langsung di potong oleh Sivia )
Sivia : “ Nggak masalah kak, yang penting sekarang kakak ada disini buat nemenin Via lihat pelangi. “
Alvin : “ Via . . . Via cinta banget kamu sama pelangi “ ( kata Alvin setelah itu mereka kembali sibuk menikmati pelangi )

Keesokkan harinya dengan langkah tergesa – gesa, Sivia menyusuri koridor sekolah. Tangan kanannya sibuk menggenggam handphonenya erat – erat. Meski ini bukan untuk pertama kalinya, tetap saja kepanikan itu datang ke otaknya. Sivia menyeruak masuk ke UKS, dan membuat dua pasang mata langsung menoleh padanya. Sivia berjalan menghampiri Alvin. Rio yang berdiri di samping ranjang Alvin, langsung menyingkir, memberikan jalan untuk Sivia.

Sivia : “ Kak Alvin! kakak nggak apa – apa kan? “
Alvin : “ Aku nggak apa – apa, Cuma sedikit kecapaian aja. “
Sivia : “ Maaf kak, tadi Via ada susulan sejarah makanya nggak bisa istirahat, nggak bisa nemenin kakak main futsal, juga nggak bisa jagain kakak. “ ( kata Sivia merasa bersalah )
Alvin : “ Aku yang lupa jaga diri, bukan salah kamu kok Vi. “ ( Alvin mengangkat tangannya untuk menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah cantik Sivia )
Rio : “ Iya tuh Vi, padahal aku udah ngingetin Alvin loh, Vi. Tapi Alvinnya aja yang ngeyel. “ ( kata Rio yang sendari hanya melihat pembicaraan Alvin dengan Sivia )
Alvin : “ Udahlah, aku nya juga baik – baik aja kan? Cuma sedikit mimisan. Nggak ada yang perlu di khawatirkan, Aku nggak apa – apa Vi. Percaya deh sama Aku. “
Rio : “ Ya udahlah, Aku balik ke kelas duluan ya. Nanti Aku anterin kamu pulang deh. “ ( Sivia dan Alvin hanya tersenyum sambil mengangguk, lalu menyaksikan Rio keluar pintu UKS )
Alvin : “ Besok kamu mau nemenin aku kemo kan? “
Sivia : “ Iya dong . . . “
Keesokkan harinnya, Sivia nemenin Alvin kemo.
Alvin : “ Arrgh . . . sakit, Dok! “ ( Sivia yang melihatnya dari luar hanya menggigit bibirnya, hatinya langsung terasa miris mendengar erangan Alvindari dalam ruang kemo )
Setelah satu jam berlalu, akhirnya Sivia kembali di izinkan untuk masuk dan melihat senyum Alvin yang lembut lagi.

Sivia : “ Hari ini kakak hebat . . . “ ( Alvin menutupi mulutnya. Sivia tahu, Alvin mual. Sivia segera menyodorkan baskom kecil ke arah Alvin. Alvin memuntahkan cairan bening dari mulutnya dan dengan sabar Sivia memijit – mijit pundak Alvin)
Alvin : “ Makasih ya . . . “
Sivia : “ Basa – basi banget kak, kayak baru pertama kali aja. Aku kan seneng nglakuin ini buat kakak. “ ( setelah itu Alvin tertidur )

Satu jam Alvin tidur terlelap dan dengan setia Sivia menemaninya.
Alvin : “ Vi . . . “ ( Alvin terbangun dari tidurnya )
Sivia : “ Udah bangun kak? “
Alvin : “ Maaf ya, biarin kamu nunggu bengong sendirian gini. “
Sivia : “ Santai aja kali kak. Kakak mau makan? ” ( Alvin menggelang )
Alvin : “ Aku mau jalan – jalan, temenin aku mau kan? “ ( Sivia mengangguk, menyiapkan kursi roda lalu membantu Alvin untuk duduk dan turun dari kasurnya. Hati Sivia sedikit miris melihat rambut Alvin yang rontok menempel di bantal )
Alvin : “ Kayaknya lusa aku botakin rambut aja deh Vi, biar nggak ngotor – ngotorin bantal gini. “
Sivia : “ Hah! Kak yakin? ”
Alvin : “ Kenapa? Kamu nggak malu kan kalau aku botak? “
Sivia : “ Enggaklah kak, malu kenapa coba? Mau rambut Kak Alvin kayak apa aja, aku bakal tetep suka kok. “
Alvin : “ Beneran nih? “ ( Sivia mengangguk )
Alvin : “ Iya deh aku percaya. Lagian kan aku bisa pake ini, Ganteng nggak? “
( Alvin mengeluarkan sebuah topi rajutan berwarna merah, hasil buatan Sivia )
Sivia : “ Selalu ganteng, apalagi pakai topi itu.Orang yang bikin aja cantik . . . “
( Alvin hanya tertawa sambil mengacak sedikit rambut Sivia )

Di depan taman kecil, Sivia berhenti dan duduk di bangku taman.
Alvin : “ Setiap kesini, pasti ada bunga yang layu dan mekar. “
Sivia : “ Aku nggak pernah perhatiin itu sebelumnnya, baru sadar pas kakak bilang. “
Alvin : “ Itu sama aja, kayak manusia. Di rumah sakit ini, hampir tiap jamnya, ada yang meninggal dan ada yang dilahirkan. Berarti Tuhan adil kan? “
Sivia : “ Kalau seorang anak lahir, pasti banyak orang yang berucap syukur ke Tuhan. Tapi ketika orang pergi, pasti ada aja yang menggugat Tuhan. “
Alvin : “ Kamu benar Vi, dan aku nggak suka kayak gitu. Aku nggak mau, kamu atau siapa pun nanti, akan menyalahkan Tuhan kalau aku nggak ada. Walaupun aku nggak suka sama takdir yang Tuhan kasih buat aku, seenggaknya Tuhan udah membalas itu dengan mengirimkan orang – orang yang terbaik di hidup aku sekarang. “
Sivia : “ Aku tahu, Kak . . . “
Alvin : “ Aku bangga sama kamu Vi. Belum tentu cewek lain bisa mikir kayak kamu, kamu hebat. “
Sivia : “ Ini juga gara – gara kakak. Aku nggak akan punya pikiran positif kayak gini, kalau bukan karena kakak ngasih aku pandangan – pandangan itu. “
Alvin : “ Apa kamu bahagia jadi pacar aku? “
Sivia : “ Selalu bahagia. Aku bahagia, karena kisah ini nggak kayak kisah orang kebanyakan, aku bahagia karena kakak udah bikin kisah ini cuma jadi kisah kita.“
Alvin : “ Maksud kamu? “
Sivia : “ Banyak cerita tentang hubungan yang salah satunya pasangannya sama kayak kakak dan mereka banyak ngelakuin itu dengan air mata. Dengan hal – hal aneh, kayak pasangan yang mau meninggal nitipin pacarnya ke orang lain atau malah kadang dengan sengaja mereka nyakitin pacarnya dengan alasan nggak mau pacarnya sedih ngelihat dia tersiksa dan baru deh di detik – detik terakhir hidupnya mereka balik lagi Cuma buat bilang sayang. “
Alvin : “ Kamu kebanyakan nonton senetron sama baca novel tuh . . . “
Sivia : “ Hehehe . . . abis emang gitu sih. Padahal dengan saling melengkapi kayak gini, beban bakal terasa jauh lebih mudah kan kak? “
Alvin : “ Aku memang nggak salah pilih, kamu memang yang terbaik buat aku. “

Sejak kemarin sore hingga sekarang Alvin tidak sadarkan diri. Dengan setia Sivia menjaga Alvin. Walaupun rasa takut kehilangan Alvin terus – menerus menghatuinnya. Tiba – tiba tangan Alvin yang sedang digengam oleh Sivia bergerak. Sivia langsung mendekatkan wajahnya ke arah Alvin.
Sivia : “ Kak . . . Kak Alvin . . . “ ( Perlahan Alvin membuka matanya dan tersenyum tipis kepada Sivia. Kemudian Sivia menekan bel beberapa kali dan dokter langsung datang untuk memeriksa keadaan Alvin)
Sivia : “ Gimana Dok keadaan kak Alvin? “
Dokter: “ Keadaannya membaik, kondisi Alvin tiba – tiba menjadi stabil dan semoga saj tidak kembali turun. Dia bilang, dia meminta kamu untuk menemaninnya jalan – jalan. “
Sivia : “ Apa boleh Dok? ”
Dokter: “ Sebentar saja ya, Via. Paksa Alvin untuk kembali ke kamar bila sudah setengah jam. “ ( Sivia mengangguk dan langsung menghambur masuk ke dalam untuk menemui Alvin )
Sivia : “ Mau jalan kemana kak? “ ( Sivia mulai mendorong kursi roda )
Alvin : “ Mau nemenin kamu lihat pelangi, tadi habis hujan kan? “ ( Sivia kaget mendengar perkataan Alvin )

Di taman
Alvin : “ Via, boleh aku minta sesuatu sama kamu? “
Sivia : “ Apa kak? “
Alvin : “ Aku juga mau duduk di situ, tepat disamping kamu. Bukan dikursi yang berbeda kayak gini. “ ( Dengan hati – hati Sivia membantu Alvin duduk disampingnnya. Setelah itu dengan tangannya Alvin membuat Sivia bersandar di tubuhnya )
Alvin : “ Pelanginya udah muncul tuh Vi . . . “
Sivia : “ Selalu bagus kayak biasa. “ ( kata Sivia sambil melihat pelangi )
Alvin : “ Kenapa kamu suka pelangi? “
Sivia : “ Kan kakak udah pernah tanya itu? “
Alvin : “ Setelah aku pikir – pikir, pelangi itu memang indah seperti kata kamu tapi keindahannya cuma sesaat kan? Nggak abadi, nggak sejati. “
Sivia : “ Bener sih apa yang kakak bilang, tapi aku akan tetep suka sama pelangi. “
Alvin : “ Tapi aku nggak mau jadi pelangi buat kamu. “
Sivia : “ Kenapa? “
Alvin : “ Aku nggak mau cuma jadi yang saat buat kamu Vi. Aku lebih suka menjadi sejuta rinai hujan untuk kamu. “
Sivia : “ Sejuta rinai hujan? “
Alvin : “ Iya, sejuta rinai hujan yang turun ke bumi. Karena tanpanya pelangi nggak akan muncul. Aku nggak akan paksa kamu untuk lebih menyukai hujan ketimbang pelangi. Aku hujan dan kamu pelangi. Saat kamu menginginkan keindahan itu, mau nggak mau kamu harus menginginkan aku dan itu artinya akulah orang yang akan selalu mengantarkan keindahan pelangi untuk kamu, dimana pun aku berada. “ ( Sivia tersenyum sejenak )
Alvin : “ Aku punya satu impian kecil Vi . . . “
Sivia : “ Apa? “
Alvin : “ Meninggalkan kamu saat seperti ini. Saat kamu bersandar ke aku, saat aku melihat senyum kamu karena pelangi, saat aku yakin kamu telah benar – benar paham bahwa air mata tidak diciptakan untuk perpisahan yang begitu damai. “ ( Sivia terdiam dan sekilas melirik ke arah pelangi. Dan baru sadar pelangi itu sudah hilang berganti dengan rintikan hujan yang turun perlahan )
Sivia : “ Kak, kita ke kamar yuk , , , “
Alvin : “ Sebentar lagi ya, Vi. Aku menikmati bau rumput sehabis hujan. “
Dan saat yang paling Sivia takuti ternyata datang. Degup jantung Alvin perlahan mulai berhenti. Begitu pula nafasnnya. Alvin telah benar – benar pergi. Hujan mulai menderas. Tapi tidak air mata Sivia. Sivia hanya memeluk Alvin erat tubuh Alvin, karena ia tahu ini yang terakhir kalinya meski tubuhnya sudah tak berjiwa. Namu Sivia tahu, Ia telah berubah menjadi hujan sama seperti apa yang Alvin bilang tadi. Dia adalah sejuta rinai hujan. Dan itu artinya ia sedang mengawasi Sivia saat ini. Dengan begitu, Sivia tidak boleh menangis karena Sivia tidak ingin membuatnya kecewa.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar